Tulisan 2
Tugas Ilmu Budaya Dasar
Nama : Septia Iryani
Kelas : 1ID02
NPM : 3A414146
TANGGUNG JAWAB SAMPAI AKHIR
Suasana sedih menggantung berat di ruangan yang sempit itu. Angin kota Madinah yang menyebarkan hawa dingin, tetapi kering dan garang tambah menusuk lagi hingga ke tulang. Matahari sejengkal demi sejengkal makin meninggi sementara dengan segala perang perasaannya malakulmaut mulai mencabut nyawa Nabi dari arah kepala.
Nabi meregang-regang tatkala nyawa beliau sampai ke pusat. Jidat dan sekujur mukanya bersimbah peluh. Urat-urat di wajahnya meneganga dari detik ke detik. Sambil bibirnya tergigit Nabi berpaling ke arah Jibril. Matanya basah, cahayanya makin meredup. Kepala Jibril beliau menjerit, ”Ya, Jibril, betapa sakit nian. Ohh, alangkah dahsyatnya derita sakaratul maut ini.”
Jibril cepat membuang muka. Hatinya bergolak melihat peristiwa itu.
“Ya Jibril, mengapa engkau berpaling?apa engkau benci melihat mukaku, Jibril?” tanya Nabi dengan cemas.
“Tidak, ya Rasullullah,” sahut Petugas pembawa Wahyu itu. Dipegangnya tangan Nabisambil berkata,”Siapakah yang tega hatinya menyaksikan kekasih Allah dalam keadaan semacam ini? Siapakah yang sampai hati melihat engkau dalam kesakitan?”
Agaknya rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur badan Nabi menggigil. Wajahnya makin memutih. Dan urat-uratnya tambah menegang. Salam penanggungannya yang sangat. Nabi berteriak, “Tuhanku, alangkah sakitnya, wahai Tuhanku. Timpakanlah kesakitan maut ini hanya kepadaku, dan jangan kepada umatku.”
Jibril tersentak. Air matanya serentak menetes. Begitu agungnya pribadi sang Terpilih. Dalam detik-detiknya yang paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan dirinya yang diminta. Kepentingan umatnya yang didahulukan. Andaikata Muhammad menuntut agar kesakitan itu dicabut, padti Tuhan akan mengabulkan permintaannya. Namun, ia lebih memilih menjadi tumbal agar derita itu jangan menekan umatnya. Makhluk mana yang memiliki ketinggian budi semacam Muhammad?
Jibril lantas teringat pada waktu malaikat penjaga gunung minta izin kepada Nabi untuk menghancurkan penduduk Thaif. Akan dibelah bumi, diguncangkan gempa supaya mereka terbenam semua sebagai balasan bagi tindak aniaya mereka kepada Nabi. Namun, dengan sabrnya Muhammad menjawab, “Ah, jangan sekeras itu. Siapa tahu kalau bapak-bapak mereka tidak mau masuk Islam, anak-anaknya bakal mau? Dan jika anak-anaknya tidak mau juga, kuharapkan cucu-cucu mereka akan menerima Islam sebagai agamanya.”
Pada waktu Jibril menyadari kembali akan keadaan sekelilingnya, malakul-maut telah merenggut nyawa Nabi sampai ke dada. Napasnya sudah mulai menyesak, derita makin menghebat. Tiba-tiba Nabi dengan suara menggigil dan pandangan yang meredup, menengok ke arah sahabat-sahabatnya dan berkata, “Uushiikum bissholaati wa maa malakat aimaanukum. Aku wasiatkan kepadamu sembahyang dan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Budakmu, pembantumu, peliharalah mereka baik-baik.”
Kemudian keadaan pun tambah menggawat. Para sahabat sudah berpeluk-pelukan satu sama lain, saking tidak kuat menahan kesedihan. Badan Nabi berubah menjadi dingin. Hampir seluruhnya, tidak tergerak-gerak lagi. Matanya yang berkaca-kaca hanya terbuka sedikit. Mata itu menatap ke langit, jari-jarinya tertegak dengan kaku.
Pada saat menjelang akhir nafas beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi menggerakkanbibirnya yang sudah biru dua kali. Cepat-cepat Ali mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Ia mendengan Nabi memanggil-manggil, “Umatku- . . . umatku . . .”
Dalam memanggil-manggil inilah Nabi wafat pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal. Meledaklah tangis berkabung ke segenap penuru. Seorang Juru Selamat telah mangkat. Cintanya kepada umat dibawanya hingga ke akhir hayat, dan akan dibawanya sampai ke padang mahsyar.
Sumber: 30 Kisah Teladan
Oleh K.H. Abdurrahman Arroisi
Oleh K.H. Abdurrahman Arroisi
No comments:
Post a Comment